Memahami Bagaimana Karakter Korup Tumbuh dan Mengakar

Di sebuah kota kecil seseorang baru saja mendapat izin untuk berlatih mengemudi, setelah melewati pertimbangan panjang. Namun, kegembiraan itu berubah menjadi sebuah kecemasan saat ia duduk di belakang stir. Ini pertama kali baginya.

Dengan agak gemetar, dia memasukkan kunci dan menyalakan mesin mobil. Di benaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, kapan harus masuk gigi satu? Kapan harus menginjak rem? Bagaimana cara menjaga kendali saat berbelok? 

Karena semua pertanyaan-pertanyaan itu itu memenuhi kepalanya, maka fokusnya sangatlah tinggi. Maka dia akan mengemudikan mobil itu dengan pikiran sadar, atau dengan alam sadarnya sebagai manusia normal.

Dengan penuh perhitungan, dia mulai menjalankan mobilnya. Ia mencermati setiap gerakan, setiap putaran roda, dan setiap perpindahan gigi. Meskipun awalnya sulit, dia terus berlatih dan mempraktekkan keterampilannya dengan tekun.

Seiring berjalannya waktu, apa yang dulunya merupakan perhitungan yang cermat dan konsentrasi tinggi, berubah menjadi sebuah kebiasaan. Ia tidak lagi perlu memikirkan setiap gerakan yang dilakukannya. Injak gas, kopling, dan rem dilakukan secara otomatis, tanpa harus dipikirkan.

Tahun demi tahun berlalu, dan dirinya menjadi seorang pengemudi yang mahir. Kebiasaannya dalam mengemudi telah membentuk karakternya. Ia belajar untuk mengemudi dengan hati-hati dan bertanggung jawab, karena ia menyadari betapa pentingnya keselamatan bagi dirinya dan orang lain di jalan.

Namun, dia juga sadar bahwa tidak semua orang memiliki karakter yang sama dalam mengemudi. Beberapa mengemudi dengan sembrono dan ugal-ugalan, mengabaikan keselamatan dan kenyamanan orang lain di jalan.

Hingga pada akhirnya dia menyadari bahwa dari belajar mengemudi, tak hanya membentuk skil, tapi juga membentuk karakter seseorang.

Ilustrasi ini mengutip pandangan Prof. Dr. Reda Mathovani, SH, LL, Jaksa Agung Muda bidang Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung, yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Pancasila.

Seperti itulah kurang lebih, bagaimana sebuah integritas terbentuk, bagaimana budaya antikorupsi datang dan menjadi bagian dari karakter seseorang dalam bekerja dan kehidupannya sehari-hari.

Semua orang, awalnya akan dihantui banyak pertanyaan yang membuat mereka takut, cemas, khawatir berlebihan ketika dihadapkan pada suatu situasi dilema, antara menjadi korup, atau berintegritas.

Namun, seiring berjalannya waktu, ketakutan itu menjadi sebuah kebiasaan, sehingga secara otomatis akan melakukan tindakan-tindakan tersebut, membuatnya menjadi mahir, dan tak memperdulikan orang-orang yang dirugikan atas tindakan korupsi yang dilakukan.

Korupsi tak Pantas jadi Budaya

Korupsi, berasal dari Bahasa Latin “corrumpere“. Artinya; busuk dan rusak. Ada banyak teori yang mengemukakan bahwa praktik korup, bukan barang baru di dunia. Sejak dahulu kala, dia telah menjadi budaya, bahkan merasuk ke dalam diri seseorang, dan menjadikannya sebagai karakter.

“Belajar mengemudi tak hanya membentuk skil, tapi juga membentuk karakter seseorang.”

Prof. Dr. Reda Mathovani, SH, LL

Dalam berbagai sejarah sejarah peradaban manusia sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Yunani, Cina, hingga Romawi, budaya korupsi sudah begitu dikenal dan dipelajari oleh para ahli.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa perilaku koruptif mencapai puncaknya sekitar tahun 1.200 sebelum masehi, terutama di kalangan para pejabat pemerintahan Babilonia.

Karena itu, saat Raja Hammurabi memerintah Babilonia, ia merumuskan Code of Hammurabi untuk menghukum tindak korupsi di kalangan pejabat.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah tindakan melanggar hukum di mana seseorang atau korporasi dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Media massa secara rutin melaporkan praktik tindak pidana korupsi yang hampir terjadi setiap hari di Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga lembaga politik dan hukum.

Lantas, apakah benar tentang adanya persepsi bahwa korupsi telah menjadi sebuah budaya di Indonesia?

Jika kita memahami bahwa budaya — yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Buddhaya” yang merupakan kata jamak dari kata “Buddhi” — mengacu pada segala hal yang terkait dengan budi dan akal manusia, maka dari sini dapat disimpulkan bahwa budaya adalah rangkaian perilaku positif yang timbul dari kearifan dan pemikiran manusia. Korupsi bukan hal positif maka tak pantas disandingkan dengan kata “budaya”.

“Integritas terbentuk dari kesadaran yang dilakukan berulang-ulang, maka jadilah kebiasaan. Lalu, kebiasaan akan menjadi budaya, sehingga antikorupsi akan mengakar sebagai karakter seseorang dalam bekerja dan menjalankan kehidupan sehari-harinya.”

Prof. Dr. Reda Mathovani, SH, LL

Karena kriteria utamanya adalah akal budi, perilaku yang berasal dari budaya cenderung mengandung unsur kebaikan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Maka korupsi sejatinya bukanlah sebuah hal yang pantas menjadi bagian dari sebuah budaya.

Seperti seseorang yang tadi belajar menyetir mobil, maka “antikorupsi-lah” mengandung makna yang jauh lebih positif. Sehingga muncullah istilah “budaya antikorupsi”, sama dengan membudayakan integritas, membudayakan malu korupsi, mengubur mental-mental korup, sehingga menjadi manusia yang berintegritas.

Sadar atau tidak, tantangan untuk “membumihanguskan” perilaku korup dan mengangkat budaya aktikorupsi bukan pekerjaan mudah. Sebab praktik korup justru sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Maka akal sehat, akal budi, nalar wajar menjadi “tameng” paling dasar bagi kita untuk melawan munculnya benih-benih korup, menjadi “perisai” diri agar terhindar dari karakter korup.

Jika ada kesempatan untuk melakukan korupsi, maka jadikan momentum itu sebagai kesempatan untuk membentuk karakter integritas, dan harus dimaknai lewat penalaran yang wajar.

Kita yang tengah “bergelut” dengan rasa dilema, antara untung dan rugi, membuat kita berani mengambil sikap yang benar, sebagai cerminan dari integritas yang sesungguhnya.

Jika sudah demikian, maka kita akan lebih lega untuk berteriak dan berkata, “Saya bukan koruptor dan Saya punya integritas.” Maka budaya antikorupsi akan ditularkan ke orang lain, melalui diri kita sendiri.***

 

*Tulisan ini disusun oleh tim redaksi Bertuahpos.com untuk tujuan menambah wawasan dan pengetahuan, serta mengkampanyekan budaya antikorupsi dengan merujuk pada pokok pikiran Prof. Dr. Reda Mathovani, SH, LL, Jaksa Agung Muda bidang Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung, yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Pancasila.

Share